Selasa, 22 September 2009

SEJARAH ARSITEKTUR ISLAM DI JAWA


Masuknya Agama dan Kebudayaan Islam di Jawa

Mengenai sejarah penyebaran agama Islam di Jawa dan mengenai beralihnya penduduk Jawa ke agama Islam, umumnya para ahli sejarah belum banyak mengetahui secara pasti. Sampai sekarang kita hanya dapat merasa puas dengan ikhtisar-ikhtisar yang bersifat sementara dari para ahli, walaupun demikian pendapat para ahli juga masih melalui bukti-bukti kuat yang ada.


Dalam karangan Koentjaraningrat “ Kebudayaan Jawa “ (1994:48) “Islam masuk ke Indonesia melalui suatu negara yang baru muncul di pantai barat jazirah Melayu, yaitu Malaka pada abad ke-14, ketika kekuasaan Majapahit sebagai suatu kerajaan yang berdasarkan perdagangan mulai berkurang”. Lain lagi menurut sejarawan muslim Ahmad Mansyur Suryanegara di majalah “Sabili” (2003:36-41) ”Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 langsung datang dari Makkah atau Madinah bukan dari Gujarat atau Persia”. Ahli filologi Australia, A.H. Jhons (dalam Koentjaraningrat, 1994:53) mempunyai hipothesa lain, “persebaran agama Islam di Jawa pada abad ke-13 makin lama makin cepat meluas di kepulauan Indonesia ini terutama berkat usaha para penyiar ajaran mistik Islam (shufi)”. Gagasan mistik memang mendapat sambutan hangat di Jawa, karena sejak zaman sebelum masuknya agama Islam, tradisi kebudayaan Hindu-Budha sudah didominasi oleh unsur-unsur mistik.Yang banyak terpengaruh oleh aliran ini yaitu di Aceh dan Cirebon.

Selanjutnya dalam perkembangan dibidang ekonomi di kota pelabuhan-pelabuhan dagang telah menumbuhkan kebutuhan akan pengembangan otonomi daerah untuk membebaskan dari pusat kerajaan Hindu-Jawa Majapahit. Para pedagang dan bangsawan di kota-kota pelabuhan berorientasi untuk membentuk suatu kebudayaan Islam, dan menjauhi orientasi kebudayaan Hindu-Budha Jawa. Namun hubungan para bangsawan dari Majapahit tetap berlangsung berkat adanya hubungan perkawinan. Dengan demikian gagasan-gagasan dalam agama Islam terus mengalir ke dalam kebudayaan keraton Majapahit.

Faktor yang tidak kalah penting menyebarnya Agama Islam di pulau Jawa, Adalah berdirinya kerajaan Demak diparuh awal abad ke-16 dengan sultannya Akbar al-Fatah atau Raden Patah. Dan kedaulatan hukum kesultanan Demak Bintoro kala itu berpijak pada syariah Islam, munculnya kerajaan Demak di pantai utara Jawa ini yang nantinya dianggap sebagai suatu bentuk terjadinya dialog budaya Islam-Jawa. Dipegang teguhnya syariat Islam sebagai pedoman hidup seluruh isi negeri Demak tidak lepas dari perjuangan para ulama. Bahkan, dalam pengelolaan pemerintahan para ulama tersebut berperan sebagai tim kabinet (kayakanan). Para ulama itulah yang tiga abad kemudian dikenal dengan sebutan Walisanga.

Nama walisanga begitu dekat dengan umat Islam khususnya di Jawa. Mereka menjelma dalam hikayat di alam pikiran orang kebayakan. Dalam serat walisanga karya pujangga RM. Ng Ranggawarsito pada abad ke-19 ditulis “walisana” kemudian terjadi pelurusan, sebagain berpendapat kata sanga merupakan perubahan dari kata “tsana” (mulia) maka walisana berarti wali-wali mulia atau terpuji. Namun kebayakan para pakar sepakat, bahwa walisanga merupakan kumpulan ulama dengan dakwah yang bertujuan menengakkan Islam. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kali Jaga dan Sunan Drajat.

Walisanga dalam berbagai tulisan acapkali di identikan sebagai para shufi pengembang ajaran thasawuf semata. Namun walisanga bisa ditetapkan termasuk dalam aliran Ahli Sunnah yang tegas dan konsekwen menentang bid’ah (sesat). Perjuangan mereka dengan berbagai pendekatan akhirnya berhasil dalam mendakwahkan syariat Islam di wilayah kerajaan Majapahit yang sudah rapuh-rapuhnya. Dari kesembilan wali itulah nantinya terjadi adaptif-asimilatif-akulturaif terhadap kebudayaan Jawa yang masih bercorak Hindu atau Budha. Secara kolektif kiprah walisanga dalam syiar Islam di tanah Jawa memunculkan kebudayaan baru, seperti kebudayaan wayang, bangunan masjid, upacara pada bulan atau hari-hari besar dan lain-lain. Menjadikan salah satu bentuk yang mungkin bisa disebut sinkretik (campuaran Islam, Animisme, Hindu dan Budhisme).

Demikianlah tentang pergumulan antara Islam disatu pihak, dengan tradisi budaya Jawa pra Islam di pihak lain. Menolak semua tradisi budaya lokal bagi mayarakat muslim adalah suatu kemustahilan, karena sebagai anggota masyarakat Jawa, mereka terikat dengan tradisi dan norma-norma yang berlaku. Namun, menerima semua tradisi Jawa dengan tanpa seleksi adalah langkah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keberagaman yang mengharuskan adanya seorang nabi dan rasul yang ditugaskan untuk mengajarkan risalah atau ajaran Islam. Selagi hal ini tidak bertentangan dengan Islam, para ulama tidak mempermasalahkan untuk mengadopsinya. Akan tetapi apabila sudah menyangkut masalah ritual, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Sebagian bersikap toleran terhadap perbuatan tersebut dan sebagian menolaknya. Bahkan kalau jelas-jelas sudah menyinggung masalah aqidah atau kepercayaan, mereka sepakat untuk menolaknya.



D. Islam dalam Arsitektur Jawa

Pola internalisasi Islam dalam arsitektur di Jawa sebenarnya sudah dapat dilihat sejak awal Islam masuk di Jawa. Mengingat bahwa salah satu saluran penyebaran Islam di Jawa dilakukan melalui karya seni arsitektur, diantaranya adalah bangunan masjid dan makam. Selain itu, sebelum Islam masuk di Jawa masyarakat Jawa sudah memilki kemampuan dalam menghasilkan karya arsitektur bernuansa lokal (Hindu-Budha) dimana di Jawa telah berdiri berbagai jenis bangunan seperti candi, keraton, benteng, kuburan, meru, rumah joglo, relief pada bangunan gapura, tata ruang desa atau kota. Yang memilki konsep mencapat hiasan tokoh wayang pada rumah, kuburan, dan padepokan. Seni bangunan rumah arsitektur Jawa tradisional sendiri pada awalnya menerapkan sistem rangka terbuat dari kayu atau bambu dengan mengaitkan unsur kepentingan ritual religius dan berkaitan erat dengan kepercayaan masyarakatnya. Sedangkan mengenai keseluruhan bentuk visual arsitekturnya dibedakan dalam gaya tertentu yaitu bentuk kampung, limasan, dan joglo (Majalah Asri, 1986:38).

Atap kampung paling sederhana berdasarkan sruktur dikenal sebagai tempat tinggal orang biasa, atap limasan merupakan ragam bentuk atap kampung yang lebih rumit dan digunakan untuk rumah keluarga Jawa yang berkedudukan lebih tinggi, Atap joglo secara tradisional dikaitkan dengan tempat kediaman keluarga bangsawan (Indonesian Heritage, 2001:34).



Sesuai yang diungkapkan Henri Maclaine Pont (dalam Sachari dan Sunarya, 2001:29), seorang arsitektur Belanda yang rajin meneliti kebudayaan Jawa bahwa “karya arsitektur perlu dilihat sebagai ungkapan spiritual dari kelompok masyarakat tertentu, temasuk pandangan hidup, moral, sosial, intelektual, kepercayaan, dan agamanya”. Oleh karena itu, ketika Islam masuk di Jawa keberadaan arsitektur di Jawa yang telah berkembang dalam konsep dan filosofi Jawa tidak dapat ditinggalkan oleh Islam. Jadi agar Islam dapat diterima sebagai agama Jawa maka simbol-simbol Islam hadir dalam bingkai budaya dan konsep Jawa, yang kemudian memunculkan kreativitas baru sebagai berasimilasinya dua kebudayaan dan sekaligus sebagai pengakuan akan keberadaan keunggulan muslim Jawa dalam karya arsitektur .

Hal ini dapat ditemukan pada bangunan menara masjid Kudus yang dibangun oleh Sunan Kudus dengan ciri khusus dan tidak didapatkan pada bentuk bangunan masjid manapun, yakni bentuk bangunan menara yang mirip dengan meru pada arsitektur bangunan Hindu, Lawang kembar pada bangunan utama masjid yang kesemuanya bercorak bangunan Hindu mengingatkan pada bentuk kori di komplek kerajaan Hindu. Bentuk bangunan menara dimaksudkan untuk menarik simpati masyarakat Hindu pada waktu itu untuk memeluk agama Islam. Bentuk bangunan masjid yang bercorak khas Jawa yang lain lagi adalah bangunan masjid yang memakai bentuk atap bertingkat atau tumpang dua, tiga, lima, atau lebih dengan pondasi persegi, sisinya tepat berada pada arah mata angin. Selain soko gurunya juga membentuk sebuah persegi, terdapat pula ciri khas mimbar dengan pola ukiran teratai mastaka. Bentuk masjid dengan model atap bertingkat tiga diterjemahkan sebagai lambang keislaman seseorang yang ditopang oleh tiga aspek yaitu Iman, Islam, dan Ihsan (Farida dalam Amin, 2002:190). Adapun Nurcholis Madjid menafsirkan sebagai lambang tiga jenjang perkembangan penghayatan keagamaan manusia, yaitu tingkat dasar (purwa), tingkat menengah (madya), dan tingkat akhir yang maju dan tinggi (wasana) yang sejajar dengan jenjang vertikal Islam, Iman, dan Ihsan. Selain itu dianggap pula sejajar dengan syariat, thariqot, dan makrifat (Rahman, Tanpa Tahun:463-464).

Selain beraneka macam ciri arsitektur masjid di Jawa sebagaimana uraian di atas, di sekitar masjid di Jawa juga terdapat bangunan makam. Biasanya makam yang terdapat di sekitar masjid adalah makam para tokoh Islam yang hidup di sekitar masjid tersebut, seperti masjid Kudus yang berada satu komplek dengan makam R. Patah, dan bukan hanya makam tokoh agama, tetapi juga para keluarganya, punggawa keraton, tumenggung, pangeran, dan sebagainya.

Di Jawa, makam merupakan salah satu tempat yang dianggap sakral, bahkan sebagaian cenderung dikeramatkan. Dilihat dari corak arsitekturnya terdapat beberapa bentuk. Ada yang sederhana dengan hanya ditandai dengan batu nisan seperti Makam Fatimah binti Maimun, 1428, atau Makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik, 1419 (J.J. Fox, 2002:126). Ada pula yang diberi cungkup dan diberi hiasan-hiasan dan kelambu dan ada pula makam yang dikijing. Adapun penempatannya ada yang menyatu dengan komplek masjid seperti Makam Sunan Kudus, Sunan Muria, Sendang Duwur, dan Ampel. Juga ada yang di tempatkan di puncak bukit seperti komplek makam raja-raja Mataram di Imogiri, dan Makam Sunan Muria di gunung Muria. Kondisi ini menyerupai bangunan pura yang di dalamnya terdapat abu pembakaran mayat yang diletakkan pada tempat yang tinggi dan stereotip candi pada beberapa makam di Jawa menunjukan adanya bukti interelasi budaya Jawa dan Islam dalam arsitektur makam.

Munculnya arsitektur makam Islam di Jawa harus dipahami sebagai suatu kenyataan yang tidak mengingkari akidah Islam, tetapi sebagai kelanjutan suatu tradisi yang telah tumbuh pada masa pra Islam yang terinspirasi oleh kehalusan karya seni masyarakat Jawa dan tingginya nilai ajaran agamanya (Islam).

Kemampuan para aristek muslim Jawa dalam mengakomodasikan dua unsur kebudayaan dalam bentuk masjid dan makam, tetapi telah pula sampai pada lingkup yang lebih luas, yakni penataan tata kota, ketika umat Islam memilki wilayah di Jawa, maka mereka pun mulai menata kota dengan perangkat bangunan yang menjadi kepentingannya. Mataram sebagai sebuah kerajaan Jawa yang merupakan kelanjutan kerajaan sebelumnya, memilki tata bangunan kota yang sangat dipengaruhi oleh nilai lokal yang telah ada, dan tata nilai baru yang dibawa oleh Islam.

Dalam pemikiran Jawa, keraton merupakan pusat jagat raya. Pola pengaturan bangunan di dalam keraton tidak terlepas dari usaha raja untuk menyelaraskan kehidupan warganya dengan jagat raya, dengan konsepsi bahwa arah utara merupakan pusat magnit (Supriadi, 1985:31). Dengan demikian bangunan tersebut merupakan lambang yang penuh arti. Pengatuaran bangunan dilakukan dengan pola tengah, yang berarti pusat, sakral, dan magis, diapit oleh dua lainnya yang terletak di depan dan belakangnya atau kanan kirinya, pengapitan itu dapat berjumlah empat atau delapan yang ditempatkan sesuai dengan arah mata angin.

Menurut Farida (dalam Amin, 2002:197)”tata ruang kota di Jawa pasca kerajaan Hindu Jawa menggunakan konsep tata ruang yang berlandaskan pada filosofi Jawa yang muatan isinya memakai konsep Islam”. Hal ini terlihat dengan konsep tradisi dalam tata ruang desa-desa di Jawa, namun unsur-unsurnya dari nilai ajaran Islam. Yaitu dengan menempatkan keraton, masjid, pasar, dan penjara dalam satu komunitas bangunan yang berpusat pada alun-alun. Dimana hampir setiap kota di Jawa dibangun pada masa kerajaan Islam, pusat pemerintahannya senantiasa berada di pusat kota yang terdapat alun-alun di depannya, masjid di sebelah baratnya, penjara dan pasar di sekitarnya. Sehingga secara umum arsitektur Islam Jawa dapat dikelompokan dalam bentuk :

1. Bangunan sakral yang disakralkan, seperti masjid dan makam

2. Bangunan yang di anggap sekuler, seperti benteng, keraton, tata kota dan sebagainya.

Dari berbagai deskripsi tentang bentuk arsitektur Islam Jawa di atas tercermin cara Islam mensosialisasikan diri di Jawa, yang memperlihatkan ikhtisar Islam untuk masuk di Jawa secara kultural bukan dengan pemaksaan dan kekerasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon tulis coment kritike yo...dulur